Sabtu, 23 November 2013

Sepotong Sejarah di Ujung Roda Sepeda Onthel

16.51

Share it Please

Menghunus tombak bambu lain lagi ceritanya jika dikaitkan dengan hari ini. Hari ikrar yang sejati, hari dimana sejarah harus terjadi. Masih saja aku ambil buku catatan kumuh yang terselip di kantong jas lamaku. Sesekali aku menulisnya dengan torehan bangga kakekku dengan apa yang telah terjadi, bahwa Hindia Belanda mendunia hebat akan sejarahnya. Tombak bambu bagai nenek moyang bagi nuklir yang disimpan dalam lemari. Tidak dapat disangka kapan tiba hari dimana tombak bambu bisa melejit kembali mematahkan semangat koloni, meremukan harapan penjajah, dan melucuti semua mimpi-mimpi perampas hak.
            Setiap yang tua mengatakan bahwa kami hanya selongsong senapan yang kosong. Sembunyi dibalik tampang sangar dan dibalut dengan kain abu-abu putih. Aromanya tidak semenyengat keringat Mada, syairnya tidak mampu menggetarkan pasukan Utomo diperbatasan. Abu-abu putih dengan jiwa hampa, emosi tingkat dewa, pencoreng sejarah yang wajib diremehkan. Pertempuran sudah usai, kini hanya ada dewasa yang korup yang begitu paham pada kolusi dan juga nepotisme. Sambil melontarkan senyuman licik ala veteran, kakekku dan teman-teman sebayanya melintas begitu saja dihadapanku.
            “Budaya apa ini? Apakah ini yang disebut penggempar dunia? Apakah ini sepuluh jiwa pemuda yang disebut-sebut oleh Soekarno?” Ujarku dalam hati memicu pandangku yang habis oleh film budaya, Tawuran Remaja. Peta online yang sejak tadi nyarak juga tidak menunjukkan tempat dimana budaya ini berasal. Dengan nafas yang panjang, aku angkat tatapan mata pada kaki langit, memasang senyuman lebar diparasku, kemudian aku tatap langkah para veteran yang mulai hilang dimakan jarak. Mungkin inilah jawabannya.
***
            “Kita punya sepeda, ini dapat menguntugkan kita karena musuh mungkin tidak akan menyadari bahwa kita akan datang.” Kata Joko kepada teman-temannya.
            “Bedebah! Aku tidak peduli dengan ini semua! Made, Ipan, Pasa, dan juga teman kita yang lain telah direnggut. Bagaimana bisa kau masih memikirkan cara kita untuk maju melucuti mereka sedangkan kita kekurangan orang?” Sahut sahabat Joko sendiri, Ahmad, dengan nada yang tinggi.
            “Betul itu Jok, aku setuju dengan Ahmad, kita hanya akan mengantarkan nyawa kepada para bedil itu.” Sambung Hassan dengan muka merah sambil menuding-nuding. Kebanyakan teman menyatakan pendapat untuk tidak kembali menyerang koloni yang sudah merenggut tanah kelahiran mereka.
            Melihat teman-teman yang sudah meluapkan amarah mereka dengan nada tinggi, membuat pimpinan pasukan kecil ini menunduk dan menghempaskan tubuhnya disebuah kursi hijau. Setelah beberapa saat hening, Joko mengangkat pandangannya melihat wajah teman-temannya yang mulai putus asa serambi berkata, “Apakah begini saja? Apa hanya sampai disini saja semangat kalian? Dimana rasa yang kemarin membakar tekad kalian? Kita memang telah kehilangan segala hal! Kita kehilangan rumah, keluarga, dan saudara. Tapi masih ada yang lebih penting dari ini semua, tugas kita adalah untuk terus maju. Itu cara kita untuk menghormati semua teman kita yang telah gugur.”
           
“Beri aku seribu orang tua, maka aku sanggup memindahkan gunung semeru.
Beri aku sepuluh pemuda, maka aku akan sangggup mengguncang dunia.”
            Ahmad dan teman-teman yang sempat meracu hanya dapat tertegun dengan segala gemetar gejolak hati yang mereka rasakan. Dengan keyakinan yang mantab, akhirnya Joko berhasil menggugah kembali segala semangat teman-teman untuk tetap berjuang atas apa yang seharusnya memang menjadi milik mereka. Siang itu juga, mereka kembali menyusun strategi tempur untuk mengangkat senjata, dengan atau tanpa tombak bambu dan bedil hasil lucutan.
            ***
            “Kau tau? Aku sudah membeli sepeda yang selama ini kau inginkan. Aku akan bergegas untuk kembali bersama teman-teman. Berdo’alah dan semoga tuhan akan memberikan mimpi yang indah malam ini sebelum kami kembali.” Ujar Akbar kepada sebuah kayu penanda akan saksi gugurnya pahlawan yang bertuliskan nama seorang Jong Celebes. Dengan sedikit tertawa dibibirnya, ia kembali berkata, “Sampai nanti, tenanglah di alam sana kakak.”
            Malam nian larut. Setiap mimpi dapat terjadi, bahkan menjadi kebalikannya dalam dunia nyata. Hindia Belanda boleh saja dikuasai, akan tetapi hati, harapan, dan keyakinan setiap pejuang tidak akan pernah koloni miliki. Kecuali pribumi yang dungu dan khianatlah yang akan menjadi pembantu para penjajah berdiri. Meski bukan secara fisik atau mental, melainkan hati dan juga perasaan mereka telah koyak dan nyaris tidak memiliki harga. Setidaknya itulah yang Joko yakini selama ini, sehingga membuatnya masih tetap bertahan untuk berjuang bersama teman-teman seperjuangannya.
            Dalam air mata pengorbanan yang menitik disetiap tetesnya, dari isak histeris yang mengusik telingan disetiap akhir pertempuran. Menggenggam tombak bambu atau bedil adalah keharusan yang menjadi kewajiban para pahlawan yang haus akan kebebasan. Meski harus menangis darah, meski harus kehilangan nyawa, meski harus bertempur gontai nan menjerit hebat, tapi keyakinan tidak akan pernah padam. Bebas berawal dari mimpi, keberhasilan berawal dari tekad dan juga do’a. Suara tembak menggelegar seantero menyisakan perih dipuing-puing perjuangan para pahlawan. Jerit histeris tidak jarang mewarnai darah yang terciprat dihamparan lapang gersang pertempuran.
            “Setengah jalan lagi kita akan merebut kembali tanah kita Jok.” Ujar Ahmad kepada joko dengan nafas sengal.
            “Belum Mad, perjuangan kita masih lumayan jauh.” Kata Joko menggenggam bedil erat dengan nafas sengal pula. Kedua sahabat ini malah tertawa terbahak-bahak kemudian memulai kembali aksi mereka sampai perbatasan.
            Sementara perang masih hebatnya, hujan mengguyur perbatasan. Kilat sesekali menampakan sekilas pemandangan pertempuran dahsyat yang tengah terjadi. Suara guntur menggelegar, menutupi lantunan pekik jeritan nyawa serta bedil yang ramai bersorak. Hujan membasuh semua darah yang sudah tumpah. Hingga airnya tidak lagi bening ataupun coklat karena tanah. Melain merah segar darah yang mulai menganak sungai membanjiri medan pertempuran.
            “Awas ranjau! Ambil sebagian jong untuk mengkepung benteng barat musuh! Sisanya memberikan tembakan perlindungan!” Perintah salah seorang pimpinan jong kepada teman yang ada disampingnya.
            “Joko! Hassan Jok! Hassan tersambar ranjau!” Teriak seorang Jong Batak memecah gerilya Joko bersama bedilnya. Ia pandang sekeliling di dalam gelap pecah malam. Cahaya dari kilat mengarahkan matanya disebelah timur. Sosok pahlawan yang meronta kesakitan lalu membeku tidak berkutik pada bekas amukan ranjau. Tubuhnya gemetar, bedil yang ia pegang tidak lagi bersarang pada kedua tangannya, matanya terbelalak berkaca-kaca, ia coba mengakat kakinya berlari menuju sosok tersebut tanpa menghiraukan timah yang bergentayang diseluruh penjuru.
            “Hassan!” Teriak Joko merenggut baju lengan sahabatnya. Ia tarik tubuh lebam itu dengan segala mampu kedalam gerumun jong bersenjata. Segala isak menjadi padu dengan intonasi cetar membahana badai dalam ratusan letupan peluru. Selagi hatinya masih sekarat, ricuh suara gentar juga mengelilingi kepala Joko.
            “Kita harus ambil langkah cepat Jok! Atrisi tidak akan bisa berhasil! Kita kekurangan orang!” Tegas Ahmad kepada Joko.
Joko bingung tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Ia mulai kalut. Keringat bercampur aduk dengan darah dan juga hujan yang menyirami tubuhnya. Fikirannya hampir lumpuh, dalam benaknya hanya tersirat “maju atau mundur?”
“Apa yang harus kita lakukan?” Tanya Joko memulai kekhawatirannya. Setelah beberapa saat gencatan mereka terhenti dibawah rintik hujan, kekacauan hati menjadi pemicu rusaknya semangat para pahlawan. Hujan tidak hanya membekukan malam, tapi hati dan fikiran ikut dibekukan. Akan tetapi hujan pula yang membuat harapan mereka bersinar, hujan yang membuat langkah mereka hangat untuk mendekati sebuah kebebasan, kemerdekaan.
“Kami menunggu perintahmu Jok! Perintahmu.” Ujar Ahmad lirih memegang pundak sahabatnya erat. “Mancit satu, gada seratus. Pada akhirnya mereka akan menyerah juga.” Sambung Ahmad memasang senyum licik.
“Benar, ini lah tujuan kita sebenarnya Jok. Bukankah ini yang menjadi tujuanmu dan kita semua? Hassan akan bangga dan damai jika kita terus maju. Teman-teman kita yang telah gugur berjuang untuk hal yang sudah kita yakini pasti juga akan bangga. Kami semua ada dibelakangmu Jok.” Kata seorang pimpinan jong meyakinkan kembali seorang Joko, Pimpinan pasukan.
“Kalian semua memang hebat. Baiklah, mari kita tunjukan kepada mereka dengan siapa mereka berhadapan.” Ucap Joko mengangkat kembali bedilnya. “Kau adalah yang terhebat temanku, Hassan. Suratmu pasti akan aku  sampaikan kepada istrimu nanti.” Ujarnya menggenggam keras tangan dingin Hassan, sedang tangan lainnya menggenggam surat yang Hassan berikan sebelum berangkat ke medan pertempuran.
“Tarik sebagian jong ke depan garis perbatasan! Jangan sampai terpencar satu dengan yang lain! Ahmad, kau ambil setengah pasukan untuk memberikan perlawanan perlindungan! Sedangkan yang lain ikut bersamaku! Kita rebut benteng musuh sebelah barat! Laksanakan!”
“Siap!” Jawab serentak semua anggota pasukan.
Pertempuran kembali marak di perbatasan. Semangat serta keyakinan melahap habis sisa takut dan ketidak-pastian. Perlahan pasukan Joko mulai mendada para koloni hingga meninggalkan benteng barat. Musuh yang kalah strategi dan kekuatan, akhirnya menarik mundur pasukan mereka menjauhi perbatasan.
“Hindia Belanda akan hangus! Indonesia adalah kita sekarang! Kita adalah pemuda yang siap merenggut mimpi akan kemerdekaan! Ini adalah harga mati yang tidak bisa ditoleransi! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!” Begitulah Joko berseru dihadapan para pasukan Indonesia yang tengah bersorak-sorak. Hujan dan malam menjadi saksi akan kekuatan dahsyat pemuda Indonesia. Bukan lagi tentang Hindia Belanda. Hatta dan kawan – kawan telah mengajarkan pada mereka bagaimana bangsa ini terbentuk. Setiap pidato yang membakar jiwa akan dapat menjadi sepotong kata pelejit kebebasan dalam arti kemerdekaan. Sekian banyak suku yang terdapat di Indonesia, berbeda adat, berbeda keyakinan, serta berbeda bahasa, tetapi malam itu menjadi satu, dengan satu tujuan dan segala mimpi yang sama, serta dengan membawa sejuta harapan dalam satu cengkraman, “Bhineka Tunggal Ika”.
“Mas sebaiknya jangan bersorak dulu.” Tiba-tiba salah seorang Jong Java berbisik kepada Joko seraya membalikkan diri menatap kearah seorang tua tidak bernyawa. Disampingnya seorang gadis kecil memeluk dada si bapak tua yang bersimpah darah sambil menangis isak tanpa henti.
“Bapak, Jangan Tinggalin ndo’ sendirian! Bapak, bangun pak!” begitulah yang keluar dari mulut gadis mungil itu. Matanya tak berhenti mengucurkan air mata, bajunya nampak kumal, rambutnya yang tergerai juga terlihat kucal dan basah. Joko menatap gadis itu dalam, seraya mendekatinya dalam bisu semua orang yang berada disekelilingnya. Dengan gemetarnya, Joko memegang kedua lengan gadis mungil tersebut, tatapan matanya menusuk mata Joko dalam, dengan cekatannya gadis itu berbalik dan merangkul Joko erat sambil terus menangis.
Ini adalah titik balik dari segalanya. Hal yang koloni tahu adalah bahwa Pemuda Indonesia yang tadinya Hindia Belanda merupakan kekuatan yang besar dan hebat. Inilah yang membuat Para penjajah butuh waktu tiga setengah abad  untuk dapat mencerai berai Nusantara, akan tetapi dalam waktu sekejap para pemuda dapat kembali bersatu dalam kekuatan yang maha dahsyat untuk dapat melumpuhkan tangan bersenjata api para koloni.
Pasukan muda kembali menyerbu benteng koloni disisi sebelah selatan. Joko dan para pejuang yang lainnya kembali mengayuh sepeda mereka menyusuri jalan setapak menuju mimpi terlarang, mengkoyak para koloni di benteng sebelah selatan.
“Proklamasi, kami Bangsa Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia, hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan,” gema kemerdekaan mulai menyusup diantara telinga para garuda. Selagi Pasukan muda bertempur hebat, tanah air juga semakin gempar akan seruan kemerdekaan yang menjerit dimana-mana.
Koloni dihempas mundur perlahan dari tanah air, meski perjuangan tidak lepas dari pengkhianatan yang muncul dari dalam, namun para pejuang Indonesia masih berseru mengangkat tombak bambu dan bedil tinggi-tinggi.
Kongres Pemuda II kembali dijadikan tumpuan semangat jiwa muda yang membara. Secara bersamaan diseluruh nusantara menyerukan Ikrar yang sempat padam, pernyataan yang sempat kosong, janji yang sempat ingkar. Merah putih kembali dikibar pada kaki angkasa raya. Seantero dunia mulai tercengang menyaksikan garuda melintasi langit tepat diatas mata mereka dengan membawa kain merah putih berukirkan semboyan sejati Indonesia.
Para petinggi penjajah hanya bisa bungkam. Sedangkan Soekarno mulai membuat kota geger dengan lantunan Proklamasi  yang ia bacakan. Seluruh saluran Radio membacakannya dengan lantang, tiga menit sekali pada semua saluran yang diganti akan tetap memutarkan detik-detik presiden pertama Indonesia melantunkan proklamasi.
Ini adalah lantunan dalam intonasi terindah yang pernah hadir untuk pertama kalinya pada telinga para pejuang dan semua penghuni tanah air. Koloni tidak pernah menyukai lagu kebangsaan Indonesia, setiap orang yang menyanyikannya akan berujung pada kematian atau hukuman berat. Tapi kali ini Lagu Indonesia Raya akan benar-benar menjebol dinding telinga mereka, sampai menusuk jantung mereka, hingga menembus sanubari koloni yang nyalinya akan berujung menciut. Kini mereka sadar sedang berhadapan dengan siapa. Inilah kekuatan yang dibesar-besarkan oleh Soekarno.
Tiga hari lamanya Joko dan pasukan mudanya bergerilya gencat senjata dibantu oleh penduduk lokal. Sampai pada fajar yang kembali mulai menyingsing, saat itulah kehidupan baru muncul. Suasana nampak lengang, hanya ada tampak para pejuang yang mulai membenahi tempat dan melakukan penguburan. Sosok api yang membakar beberapa post dan jemari mewarnai bekas lintas peristiwa pertempuran dahsyat tersebut. Penjajah telah ditampar mundur keluar kota.
“Kau tahu Jok? Ini adalah akhir yang menyenangkan bukan?” Ujar Ahmad tersenyum licik. Padahal kakinya sudah raib satu sisi karena ranjau. Sedangkan Joko hanya terdiam tak bergeming sepatah katapun.
“Joko, sepertinya kau lupa akan satu hal yang sudah Hassan pesan. Apa kau masih memegang surat itu?” Lanjut Ahmad bertanya kepada Joko yang masih tetap diam tidak berkata apa-apa.
“Joko? Kenapa kau tidak menjawab? Apakah kau tertidur? Baiklah, ini mungkin sudah usai, jadi kau bisa tidur sekarang.” Ujarnya meledek Joko menepuk dada sahabatnya yang terbaring bermandi darah disampingnya.
“Rasanya aku juga ingin tidur. Biarkan saja surat dari Hassan, Jok. Nanti juga akan ada yang mengambilnya darimu. Beberapa hari saat kita melaksanakan salat malam, aku tau hanya satu permintaan yang menjadi keinginanmu. Itu juga menjadi permintaanku, Jok. Bisa kau katakan apa yang kamu inginkan, Jok? Apakah seperti ini yang ada dalam otakmu? Semua sudah tercapai, bahkan sekarang aku tidak bisa rasakan kakiku. Kita memang bukan yang akan dikenang Jok, seharusnya kau dengarkan perkataanku saat itu.” Ucap Ahmad panjang lebar.
“Lihatlah! Mereka menaikan bendera merah putih dipuncak tiang.” Sambungnya dengan mata sayu yang berkaca-kaca dengan mata nanar memandang bendera merah putih yang dikibarkan tepat didepan tubuh mereka berdua. Lagu Indonesia Raya kembali dikumandangkan dengan lantang. Bersambut hujan sebagai pertandak baik, bahwa tanah air saat itu bersaksi serta ikut bersedih atas gugurnya para pahlawan yang dengan segenap jiwa raga mempertahankan dan membela tanah air hingga detik-detik terakhir, hingga hembus nafas terakhir, sampai titik darah penghabisan, dan sampai memasang senyuman licik untuk terakhir kali pula.
Joko adalah pemimpin pasukan yang disegani banyak orang. Ahmad adalah pimpinan salah satu jong yag hebat pula, dan itu akan tetap membekas dihati sebagian orang yang mengenalnya. Semua pahlawan yang telah gugur adalah dasar pondasi yang kokoh akan kisah kekuatan bangsa Indonesia.
Mereka bagai tombak bambu dengan hiasan nuklir disetiap pahatannya. Mereka adalah jiwa hebat yang haus akan kebebasan. Tidak, mereka bukan haus akan kebebasan. Tetapi, mereka adalah laksana embun penyejuk dalam kehausan semua rakyat Indonesia yang rindu akan kemerdekaan. Meninggalkan keluarga dan apa yang dicinta hanya untuk membayar kemerdekaan dengan perjuangan yang meski mereka tahu akan berujung pada kematian. Inilah alasan para pahlawan untuk tetap hidup. Mereka memiliki keyakinan yang sama, dengan tujuan dan harapan yang sama. Orang bilang, “hidup itu berawal dari mimpi”, tapi bukan berarti harus tidur seharian untuk mendapatkan mimpi yang baik dan pasti. Ini pengertian “mimpi” yang lain. Ini adalah tentang mimpi orang-orang yang didalam dirinya memiliki sejuta keberanian untuk mewujudkannya.
***
Sungguh aku bangga akan kisah sejarah yang kakekku ceritakan. Hingga tidak pernah segan ataupun bosan untuk tetap bersikukuh pada semua catatan milik kakekku, termasuk buku kecil lusuh yang menjadi pedomanku.
Seperti Soekarno, beberapa tahun yang lalu aku juga masih sangat suka menunggangi sepedaku, bahkan sampai detik ini. Tapi sekarang aku akan hanya memiliki sedikit kesempatan saja  untuk dapat menunggangi sepeda antikku. Sepeda onthel antik buatan inggris memaksa keinginanku untuk membuatku merogoh gocek sebanyak tiga juta rupiah. Sepeda onthel antik itu aku beli dari salah satu temanku yang berada di Universitas Indonesia, dulu sekali, dan menjadi kebangganku sampai saat ini.
Aku suka sekali menaiki sepeda onthel. Hampir sepuluh tahun terakhir, semenjak aku berkerja disebuah instansi pemerintahan, aku selalu berangkat kerja dengan menggunakan sepeda onthel.
“Membuka kenangan, dulu saja Bung Karno juga memakai sepeda onthel.” Ujarku kepada teman-teman yang sering bertanya mengapa aku lebih suka memakai sepeda onthel ketimbang alat transportasi modern yang lainnya. Aku juga sering berkeliling mengitari daerah Pancoran menggunakan sepedaku dengan berpakaian unik, pakaian ala Bung Karno. Semua ini sering aku lakukan agar masyarakat tetap selalu ingat akan sejarah. Dengan begitu mungkin aku bisa menyemangati anak-anak muda bahwa ada perjalanan Indonesia dari benda bersejarah.
Beberapa kali sebulan, setiap kali ada acara “Hari Bebas Mobil” di Jalan Jenderal sudirman, aku juga selalu ikut berpartisipasi dan berkumpul bersama pecinta sepeda onthel lainnya. Tapi sekarang akan sulit bagiku melakukan hal yang sudah menjadi kebiasaanku dulu.
“Sepeda onthel itu ibarat kaca spion. Sebelum kita maju kedepan, lihat dulu kebelakang.” Itulah kutipan salah seorang teman yang membuat aku bangga memakai sepeda onthel.
Masih aku ingat dengan jelas segala hal yang kakek ucapkan kepadaku. Segala pesan yang sudah beliau titipkan untuk semua jong baru dimasa yang akan datang kelak. Setidaknya, cerita tentang semua pahlawannya dapat membuatku mengerti tentang apa itu perjuangan dan pengorbanan. Meski sampai saat ini, jasa mereka hanya ada dibalik layar lebar. tapi semoga saja sepotong kisah pahlawan yang lainnya dapat menggugah hati para tombak-tombak bangsa, pemuda Indonesia.
“Asalamualaikum, kakek. Bagaimana kabar kakek hari ini? Hari ini adalah hari dimana aku memulai perjuanganku kek. Kakek tau? Mungkin sebenarnya kakek salah tentang pemuda Indonesia di zaman sekarang. Walau itu sudah dua puluh tahun yang lalu kakek katakan. Buktinya pemuda itu sekarang berdiri dihadapanmu, kek. Ya, ya, ya, aku tahu, tetap Joko yang paling hebat bukan?” Kataku bermonolog mengambil senyum licikku, sambil ku rasakan hembusan angin yang mulai membelai wajahku lembut.
Tiba-tiba seorang berjas hitam ala bodyguard datang menghampiriku. Aku pandang dalam-dalam tepat dimatanya yang tertutup oleh kaca mata hitam yang lalu berkata, “Bapak Presiden, kita harus kembali ke Istana Merdeka.”
“Baiklah kek, aku pergi dulu. Nanti aku akan kembali membawa tombak bambu yang menjadi mimpimu dimasa sekarang.” Ujarku menabur bunga segar.
“Sejarah seperti roda yang yang ujungnya entah dimana. Yang pasti, sejarah akan terus dan tetap terukir sampai sejarah benar-benar berakhir.” Kataku dalam hati, meninggalkan kakek seorang diri, meninggalkan batu nisan yang bertuliskan nama “Akbar bin Abdullah”.

TAMAT

0 komentar: