Menghunus tombak bambu lain lagi ceritanya jika dikaitkan dengan hari ini. Hari ikrar yang sejati, hari dimana sejarah harus terjadi. Masih saja aku ambil buku catatan kumuh yang terselip di kantong jas lamaku. Sesekali aku menulisnya dengan torehan bangga kakekku dengan apa yang telah terjadi, bahwa Hindia Belanda mendunia hebat akan sejarahnya. Tombak bambu bagai nenek moyang bagi nuklir yang disimpan dalam lemari. Tidak dapat disangka kapan tiba hari dimana tombak bambu bisa melejit kembali mematahkan semangat koloni, meremukan harapan penjajah, dan melucuti semua mimpi-mimpi perampas hak.
Setiap
yang tua mengatakan bahwa kami hanya selongsong senapan yang kosong. Sembunyi
dibalik tampang sangar dan dibalut dengan kain abu-abu putih. Aromanya tidak
semenyengat keringat Mada, syairnya tidak mampu menggetarkan pasukan Utomo
diperbatasan. Abu-abu putih dengan jiwa hampa, emosi tingkat dewa, pencoreng
sejarah yang wajib diremehkan. Pertempuran sudah usai, kini hanya ada dewasa
yang korup yang begitu paham pada kolusi dan juga nepotisme. Sambil melontarkan
senyuman licik ala veteran, kakekku dan teman-teman sebayanya melintas begitu
saja dihadapanku.
“Budaya
apa ini? Apakah ini yang disebut penggempar dunia? Apakah ini sepuluh jiwa pemuda
yang disebut-sebut oleh Soekarno?” Ujarku dalam hati memicu pandangku yang
habis oleh film budaya, Tawuran Remaja. Peta online yang sejak tadi nyarak juga
tidak menunjukkan tempat dimana budaya ini berasal. Dengan nafas yang panjang,
aku angkat tatapan mata pada kaki langit, memasang senyuman lebar diparasku,
kemudian aku tatap langkah para veteran yang mulai hilang dimakan jarak.
Mungkin inilah jawabannya.
***
“Kita
punya sepeda, ini dapat menguntugkan kita karena musuh mungkin tidak akan
menyadari bahwa kita akan datang.” Kata Joko kepada teman-temannya.
“Bedebah!
Aku tidak peduli dengan ini semua! Made, Ipan, Pasa, dan juga teman kita yang
lain telah direnggut. Bagaimana bisa kau masih memikirkan cara kita untuk maju
melucuti mereka sedangkan kita kekurangan orang?” Sahut sahabat Joko sendiri, Ahmad,
dengan nada yang tinggi.
“Betul
itu Jok, aku setuju dengan Ahmad, kita hanya akan mengantarkan nyawa kepada
para bedil itu.” Sambung Hassan dengan muka merah sambil menuding-nuding.
Kebanyakan teman menyatakan pendapat untuk tidak kembali menyerang koloni yang
sudah merenggut tanah kelahiran mereka.
Melihat
teman-teman yang sudah meluapkan amarah mereka dengan nada tinggi, membuat
pimpinan pasukan kecil ini menunduk dan menghempaskan tubuhnya disebuah kursi
hijau. Setelah beberapa saat hening, Joko mengangkat pandangannya melihat wajah
teman-temannya yang mulai putus asa serambi berkata, “Apakah begini saja? Apa
hanya sampai disini saja semangat kalian? Dimana rasa yang kemarin membakar
tekad kalian? Kita memang telah kehilangan segala hal! Kita kehilangan rumah,
keluarga, dan saudara. Tapi masih ada yang lebih penting dari ini semua, tugas
kita adalah untuk terus maju. Itu cara kita untuk menghormati semua teman kita
yang telah gugur.”
“Beri aku seribu orang tua, maka aku sanggup memindahkan gunung
semeru.
Beri aku sepuluh pemuda, maka aku akan sangggup mengguncang dunia.”
|
Ahmad
dan teman-teman yang sempat meracu hanya dapat tertegun dengan segala gemetar
gejolak hati yang mereka rasakan. Dengan keyakinan yang mantab, akhirnya Joko
berhasil menggugah kembali segala semangat teman-teman untuk tetap berjuang
atas apa yang seharusnya memang menjadi milik mereka. Siang itu juga, mereka
kembali menyusun strategi tempur untuk mengangkat senjata, dengan atau tanpa
tombak bambu dan bedil hasil lucutan.
***
“Kau
tau? Aku sudah membeli sepeda yang selama ini kau inginkan. Aku akan bergegas
untuk kembali bersama teman-teman. Berdo’alah dan semoga tuhan akan memberikan
mimpi yang indah malam ini sebelum kami kembali.” Ujar Akbar kepada sebuah kayu
penanda akan saksi gugurnya pahlawan yang bertuliskan nama seorang Jong Celebes.
Dengan sedikit tertawa dibibirnya, ia kembali berkata, “Sampai nanti, tenanglah
di alam sana kakak.”
Malam
nian larut. Setiap mimpi dapat terjadi, bahkan menjadi kebalikannya dalam dunia
nyata. Hindia Belanda boleh saja dikuasai, akan tetapi hati, harapan, dan
keyakinan setiap pejuang tidak akan pernah koloni miliki. Kecuali pribumi yang
dungu dan khianatlah yang akan menjadi pembantu para penjajah berdiri. Meski
bukan secara fisik atau mental, melainkan hati dan juga perasaan mereka telah
koyak dan nyaris tidak memiliki harga. Setidaknya itulah yang Joko yakini
selama ini, sehingga membuatnya masih tetap bertahan untuk berjuang bersama
teman-teman seperjuangannya.
Dalam
air mata pengorbanan yang menitik disetiap tetesnya, dari isak histeris yang
mengusik telingan disetiap akhir pertempuran. Menggenggam tombak bambu atau
bedil adalah keharusan yang menjadi kewajiban para pahlawan yang haus akan
kebebasan. Meski harus menangis darah, meski harus kehilangan nyawa, meski
harus bertempur gontai nan menjerit hebat, tapi keyakinan tidak akan pernah
padam. Bebas berawal dari mimpi, keberhasilan berawal dari tekad dan juga do’a.
Suara tembak menggelegar seantero menyisakan perih dipuing-puing perjuangan
para pahlawan. Jerit histeris tidak jarang mewarnai darah yang terciprat
dihamparan lapang gersang pertempuran.
“Setengah
jalan lagi kita akan merebut kembali tanah kita Jok.” Ujar Ahmad kepada joko
dengan nafas sengal.
“Belum
Mad, perjuangan kita masih lumayan jauh.” Kata Joko menggenggam bedil erat
dengan nafas sengal pula. Kedua sahabat ini malah tertawa terbahak-bahak
kemudian memulai kembali aksi mereka sampai perbatasan.
Sementara
perang masih hebatnya, hujan mengguyur perbatasan. Kilat sesekali menampakan
sekilas pemandangan pertempuran dahsyat yang tengah terjadi. Suara guntur
menggelegar, menutupi lantunan pekik jeritan nyawa serta bedil yang ramai
bersorak. Hujan membasuh semua darah yang sudah tumpah. Hingga airnya tidak
lagi bening ataupun coklat karena tanah. Melain merah segar darah yang mulai
menganak sungai membanjiri medan pertempuran.
“Awas
ranjau! Ambil sebagian jong untuk mengkepung benteng barat musuh! Sisanya
memberikan tembakan perlindungan!” Perintah salah seorang pimpinan jong kepada
teman yang ada disampingnya.
“Joko!
Hassan Jok! Hassan tersambar ranjau!” Teriak seorang Jong Batak memecah gerilya
Joko bersama bedilnya. Ia pandang sekeliling di dalam gelap pecah malam. Cahaya
dari kilat mengarahkan matanya disebelah timur. Sosok pahlawan yang meronta
kesakitan lalu membeku tidak berkutik pada bekas amukan ranjau. Tubuhnya
gemetar, bedil yang ia pegang tidak lagi bersarang pada kedua tangannya,
matanya terbelalak berkaca-kaca, ia coba mengakat kakinya berlari menuju sosok
tersebut tanpa menghiraukan timah yang bergentayang diseluruh penjuru.
“Hassan!”
Teriak Joko merenggut baju lengan sahabatnya. Ia tarik tubuh lebam itu dengan
segala mampu kedalam gerumun jong bersenjata. Segala isak menjadi padu dengan
intonasi cetar membahana badai dalam ratusan letupan peluru. Selagi hatinya
masih sekarat, ricuh suara gentar juga mengelilingi kepala Joko.
“Kita
harus ambil langkah cepat Jok! Atrisi tidak akan bisa berhasil! Kita kekurangan
orang!” Tegas Ahmad kepada Joko.
Joko bingung
tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Ia mulai kalut. Keringat bercampur aduk
dengan darah dan juga hujan yang menyirami tubuhnya. Fikirannya hampir lumpuh,
dalam benaknya hanya tersirat “maju atau mundur?”
“Apa yang harus
kita lakukan?” Tanya Joko memulai kekhawatirannya. Setelah beberapa saat
gencatan mereka terhenti dibawah rintik hujan, kekacauan hati menjadi pemicu
rusaknya semangat para pahlawan. Hujan tidak hanya membekukan malam, tapi hati
dan fikiran ikut dibekukan. Akan tetapi hujan pula yang membuat harapan mereka
bersinar, hujan yang membuat langkah mereka hangat untuk mendekati sebuah
kebebasan, kemerdekaan.
“Kami menunggu
perintahmu Jok! Perintahmu.” Ujar Ahmad lirih memegang pundak sahabatnya erat.
“Mancit satu, gada seratus. Pada akhirnya mereka akan menyerah juga.” Sambung
Ahmad memasang senyum licik.
“Benar, ini lah
tujuan kita sebenarnya Jok. Bukankah ini yang menjadi tujuanmu dan kita semua?
Hassan akan bangga dan damai jika kita terus maju. Teman-teman kita yang telah
gugur berjuang untuk hal yang sudah kita yakini pasti juga akan bangga. Kami
semua ada dibelakangmu Jok.” Kata seorang pimpinan jong meyakinkan kembali seorang
Joko, Pimpinan pasukan.
“Kalian semua
memang hebat. Baiklah, mari kita tunjukan kepada mereka dengan siapa mereka
berhadapan.” Ucap Joko mengangkat kembali bedilnya. “Kau adalah yang terhebat
temanku, Hassan. Suratmu pasti akan aku sampaikan
kepada istrimu nanti.” Ujarnya menggenggam keras tangan dingin Hassan, sedang tangan
lainnya menggenggam surat yang Hassan berikan sebelum berangkat ke medan
pertempuran.
“Tarik sebagian
jong ke depan garis perbatasan! Jangan sampai terpencar satu dengan yang lain!
Ahmad, kau ambil setengah pasukan untuk memberikan perlawanan perlindungan!
Sedangkan yang lain ikut bersamaku! Kita rebut benteng musuh sebelah barat!
Laksanakan!”
“Siap!” Jawab
serentak semua anggota pasukan.
Pertempuran
kembali marak di perbatasan. Semangat serta keyakinan melahap habis sisa takut
dan ketidak-pastian. Perlahan pasukan Joko mulai mendada para koloni hingga
meninggalkan benteng barat. Musuh yang kalah strategi dan kekuatan, akhirnya
menarik mundur pasukan mereka menjauhi perbatasan.
“Hindia Belanda
akan hangus! Indonesia adalah kita sekarang! Kita adalah pemuda yang siap
merenggut mimpi akan kemerdekaan! Ini adalah harga mati yang tidak bisa
ditoleransi! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!” Begitulah Joko berseru
dihadapan para pasukan Indonesia yang tengah bersorak-sorak. Hujan dan malam
menjadi saksi akan kekuatan dahsyat pemuda Indonesia. Bukan lagi tentang Hindia
Belanda. Hatta dan kawan – kawan telah mengajarkan pada mereka bagaimana bangsa
ini terbentuk. Setiap pidato yang membakar jiwa akan dapat menjadi sepotong
kata pelejit kebebasan dalam arti kemerdekaan. Sekian banyak suku yang terdapat
di Indonesia, berbeda adat, berbeda keyakinan, serta berbeda bahasa, tetapi
malam itu menjadi satu, dengan satu tujuan dan segala mimpi yang sama, serta dengan
membawa sejuta harapan dalam satu cengkraman, “Bhineka Tunggal Ika”.
“Mas sebaiknya
jangan bersorak dulu.” Tiba-tiba salah seorang Jong Java berbisik kepada Joko
seraya membalikkan diri menatap kearah seorang tua tidak bernyawa. Disampingnya
seorang gadis kecil memeluk dada si bapak tua yang bersimpah darah sambil
menangis isak tanpa henti.
“Bapak, Jangan
Tinggalin ndo’ sendirian! Bapak, bangun pak!” begitulah yang keluar dari mulut
gadis mungil itu. Matanya tak berhenti mengucurkan air mata, bajunya nampak
kumal, rambutnya yang tergerai juga terlihat kucal dan basah. Joko menatap
gadis itu dalam, seraya mendekatinya dalam bisu semua orang yang berada
disekelilingnya. Dengan gemetarnya, Joko memegang kedua lengan gadis mungil
tersebut, tatapan matanya menusuk mata Joko dalam, dengan cekatannya gadis itu
berbalik dan merangkul Joko erat sambil terus menangis.
Ini adalah titik
balik dari segalanya. Hal yang koloni tahu adalah bahwa Pemuda Indonesia yang
tadinya Hindia Belanda merupakan kekuatan yang besar dan hebat. Inilah yang
membuat Para penjajah butuh waktu tiga setengah abad untuk dapat mencerai berai Nusantara, akan
tetapi dalam waktu sekejap para pemuda dapat kembali bersatu dalam kekuatan
yang maha dahsyat untuk dapat melumpuhkan tangan bersenjata api para koloni.
Pasukan muda
kembali menyerbu benteng koloni disisi sebelah selatan. Joko dan para pejuang
yang lainnya kembali mengayuh sepeda mereka menyusuri jalan setapak menuju
mimpi terlarang, mengkoyak para koloni di benteng sebelah selatan.
“Proklamasi,
kami Bangsa Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaan Indonesia, hal-hal yang
mengenai pemindahan kekuasaan,” gema kemerdekaan mulai menyusup diantara
telinga para garuda. Selagi Pasukan muda bertempur hebat, tanah air juga
semakin gempar akan seruan kemerdekaan yang menjerit dimana-mana.
Koloni dihempas
mundur perlahan dari tanah air, meski perjuangan tidak lepas dari pengkhianatan
yang muncul dari dalam, namun para pejuang Indonesia masih berseru mengangkat
tombak bambu dan bedil tinggi-tinggi.
Kongres Pemuda
II kembali dijadikan tumpuan semangat jiwa muda yang membara. Secara bersamaan
diseluruh nusantara menyerukan Ikrar yang sempat padam, pernyataan yang sempat
kosong, janji yang sempat ingkar. Merah putih kembali dikibar pada kaki angkasa
raya. Seantero dunia mulai tercengang menyaksikan garuda melintasi langit tepat
diatas mata mereka dengan membawa kain merah putih berukirkan semboyan sejati
Indonesia.
Para petinggi
penjajah hanya bisa bungkam. Sedangkan Soekarno mulai membuat kota geger dengan
lantunan Proklamasi yang ia bacakan.
Seluruh saluran Radio membacakannya dengan lantang, tiga menit sekali pada
semua saluran yang diganti akan tetap memutarkan detik-detik presiden pertama
Indonesia melantunkan proklamasi.
Ini adalah lantunan
dalam intonasi terindah yang pernah hadir untuk pertama kalinya pada telinga para
pejuang dan semua penghuni tanah air. Koloni tidak pernah menyukai lagu kebangsaan
Indonesia, setiap orang yang menyanyikannya akan berujung pada kematian atau
hukuman berat. Tapi kali ini Lagu Indonesia Raya akan benar-benar menjebol
dinding telinga mereka, sampai menusuk jantung mereka, hingga menembus sanubari
koloni yang nyalinya akan berujung menciut. Kini mereka sadar sedang berhadapan
dengan siapa. Inilah kekuatan yang dibesar-besarkan oleh Soekarno.
Tiga hari
lamanya Joko dan pasukan mudanya bergerilya gencat senjata dibantu oleh
penduduk lokal. Sampai pada fajar yang kembali mulai menyingsing, saat itulah
kehidupan baru muncul. Suasana nampak lengang, hanya ada tampak para pejuang
yang mulai membenahi tempat dan melakukan penguburan. Sosok api yang membakar
beberapa post dan jemari mewarnai bekas lintas peristiwa pertempuran dahsyat
tersebut. Penjajah telah ditampar mundur keluar kota.
“Kau tahu Jok?
Ini adalah akhir yang menyenangkan bukan?” Ujar Ahmad tersenyum licik. Padahal
kakinya sudah raib satu sisi karena ranjau. Sedangkan Joko hanya terdiam tak
bergeming sepatah katapun.
“Joko,
sepertinya kau lupa akan satu hal yang sudah Hassan pesan. Apa kau masih
memegang surat itu?” Lanjut Ahmad bertanya kepada Joko yang masih tetap diam
tidak berkata apa-apa.
“Joko? Kenapa
kau tidak menjawab? Apakah kau tertidur? Baiklah, ini mungkin sudah usai, jadi
kau bisa tidur sekarang.” Ujarnya meledek Joko menepuk dada sahabatnya yang
terbaring bermandi darah disampingnya.
“Rasanya aku
juga ingin tidur. Biarkan saja surat dari Hassan, Jok. Nanti juga akan ada yang
mengambilnya darimu. Beberapa hari saat kita melaksanakan salat malam, aku tau
hanya satu permintaan yang menjadi keinginanmu. Itu juga menjadi permintaanku,
Jok. Bisa kau katakan apa yang kamu inginkan, Jok? Apakah seperti ini yang ada
dalam otakmu? Semua sudah tercapai, bahkan sekarang aku tidak bisa rasakan
kakiku. Kita memang bukan yang akan dikenang Jok, seharusnya kau dengarkan
perkataanku saat itu.” Ucap Ahmad panjang lebar.
“Lihatlah!
Mereka menaikan bendera merah putih dipuncak tiang.” Sambungnya dengan mata
sayu yang berkaca-kaca dengan mata nanar memandang bendera merah putih yang
dikibarkan tepat didepan tubuh mereka berdua. Lagu Indonesia Raya kembali
dikumandangkan dengan lantang. Bersambut hujan sebagai pertandak baik, bahwa
tanah air saat itu bersaksi serta ikut bersedih atas gugurnya para pahlawan
yang dengan segenap jiwa raga mempertahankan dan membela tanah air hingga
detik-detik terakhir, hingga hembus nafas terakhir, sampai titik darah
penghabisan, dan sampai memasang senyuman licik untuk terakhir kali pula.
Joko adalah
pemimpin pasukan yang disegani banyak orang. Ahmad adalah pimpinan salah satu
jong yag hebat pula, dan itu akan tetap membekas dihati sebagian orang yang
mengenalnya. Semua pahlawan yang telah gugur adalah dasar pondasi yang kokoh
akan kisah kekuatan bangsa Indonesia.
Mereka bagai
tombak bambu dengan hiasan nuklir disetiap pahatannya. Mereka adalah jiwa hebat
yang haus akan kebebasan. Tidak, mereka bukan haus akan kebebasan. Tetapi, mereka
adalah laksana embun penyejuk dalam kehausan semua rakyat Indonesia yang rindu
akan kemerdekaan. Meninggalkan keluarga dan apa yang dicinta hanya untuk
membayar kemerdekaan dengan perjuangan yang meski mereka tahu akan berujung
pada kematian. Inilah alasan para pahlawan untuk tetap hidup. Mereka memiliki
keyakinan yang sama, dengan tujuan dan harapan yang sama. Orang bilang, “hidup
itu berawal dari mimpi”, tapi bukan berarti harus tidur seharian untuk
mendapatkan mimpi yang baik dan pasti. Ini pengertian “mimpi” yang lain. Ini
adalah tentang mimpi orang-orang yang didalam dirinya memiliki sejuta keberanian
untuk mewujudkannya.
***
Sungguh aku
bangga akan kisah sejarah yang kakekku ceritakan. Hingga tidak pernah segan
ataupun bosan untuk tetap bersikukuh pada semua catatan milik kakekku, termasuk
buku kecil lusuh yang menjadi pedomanku.
Seperti
Soekarno, beberapa tahun yang lalu aku juga masih sangat suka menunggangi
sepedaku, bahkan sampai detik ini. Tapi sekarang aku akan hanya memiliki
sedikit kesempatan saja untuk dapat
menunggangi sepeda antikku. Sepeda onthel antik buatan inggris memaksa
keinginanku untuk membuatku merogoh gocek sebanyak tiga juta rupiah. Sepeda
onthel antik itu aku beli dari salah satu temanku yang berada di Universitas
Indonesia, dulu sekali, dan menjadi kebangganku sampai saat ini.
Aku suka sekali
menaiki sepeda onthel. Hampir sepuluh tahun terakhir, semenjak aku berkerja
disebuah instansi pemerintahan, aku selalu berangkat kerja dengan menggunakan
sepeda onthel.
“Membuka
kenangan, dulu saja Bung Karno juga memakai sepeda onthel.” Ujarku kepada
teman-teman yang sering bertanya mengapa aku lebih suka memakai sepeda onthel
ketimbang alat transportasi modern yang lainnya. Aku juga sering berkeliling
mengitari daerah Pancoran menggunakan sepedaku dengan berpakaian unik, pakaian
ala Bung Karno. Semua ini sering aku lakukan agar masyarakat tetap selalu ingat
akan sejarah. Dengan begitu mungkin aku bisa menyemangati anak-anak muda bahwa
ada perjalanan Indonesia dari benda bersejarah.
Beberapa kali sebulan,
setiap kali ada acara “Hari Bebas Mobil” di Jalan Jenderal sudirman, aku juga
selalu ikut berpartisipasi dan berkumpul bersama pecinta sepeda onthel lainnya.
Tapi sekarang akan sulit bagiku melakukan hal yang sudah menjadi kebiasaanku
dulu.
“Sepeda onthel
itu ibarat kaca spion. Sebelum kita maju kedepan, lihat dulu kebelakang.”
Itulah kutipan salah seorang teman yang membuat aku bangga memakai sepeda
onthel.
Masih aku ingat
dengan jelas segala hal yang kakek ucapkan kepadaku. Segala pesan yang sudah
beliau titipkan untuk semua jong baru dimasa yang akan datang kelak.
Setidaknya, cerita tentang semua pahlawannya dapat membuatku mengerti tentang
apa itu perjuangan dan pengorbanan. Meski sampai saat ini, jasa mereka hanya
ada dibalik layar lebar. tapi semoga saja sepotong kisah pahlawan yang lainnya
dapat menggugah hati para tombak-tombak bangsa, pemuda Indonesia.
“Asalamualaikum,
kakek. Bagaimana kabar kakek hari ini? Hari ini adalah hari dimana aku memulai
perjuanganku kek. Kakek tau? Mungkin sebenarnya kakek salah tentang pemuda Indonesia
di zaman sekarang. Walau itu sudah dua puluh tahun yang lalu kakek katakan.
Buktinya pemuda itu sekarang berdiri dihadapanmu, kek. Ya, ya, ya, aku tahu,
tetap Joko yang paling hebat bukan?” Kataku bermonolog mengambil senyum
licikku, sambil ku rasakan hembusan angin yang mulai membelai wajahku lembut.
Tiba-tiba
seorang berjas hitam ala bodyguard datang
menghampiriku. Aku pandang dalam-dalam tepat dimatanya yang tertutup oleh kaca
mata hitam yang lalu berkata, “Bapak Presiden, kita harus kembali ke Istana
Merdeka.”
“Baiklah kek,
aku pergi dulu. Nanti aku akan kembali membawa tombak bambu yang menjadi
mimpimu dimasa sekarang.” Ujarku menabur bunga segar.
“Sejarah seperti
roda yang yang ujungnya entah dimana. Yang pasti, sejarah akan terus dan tetap
terukir sampai sejarah benar-benar berakhir.” Kataku dalam hati, meninggalkan
kakek seorang diri, meninggalkan batu nisan yang bertuliskan nama “Akbar bin Abdullah”.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar